KATA
PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha
Esa karena atas kehendak-Nya apresiasi karya seni yang berjudul “Kreasi Wayang
Kulit” ini dapat selesai tepat pada waktunya.
Saya sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang
telah berperan dalam penyelesaian apresiasi karya seni ini khususnya bapak/ibu
guru seni budaya.
Saya menyadari bahwa apresiasi karya seni ini masih
jauh dari sempurna, oleh karena itu saya sangat mengharapkan kritik dan saran
yang membangun demi kesempurnaannya.
Semoga dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Mataram, Agustus 2015
Penyusun
DAFTAR
ISI:
KATA PENGANTAR..........................................................................2
DAFTAR
ISI........................................................................................3
BAB I : PENDAHULUAN...............................................................4
BAB II : SEJARAH WAYANG KULIT...........................................5
BAB III :
JENIS DAN CARA PEMBUATAN WAYANG KULIT....................8
BAB VI :
PENUTUP.........................................................................14
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................15
BAB I
BAB I
PENDAHULUAN
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat, wayang adalah
boneka tiruan yang terbuat dari pahatan kulit atau kayu dsb, yang dapat
dimanfaatkan untuk memerankan tokoh dalam pertunjukan drama tradisional (Bali,
Jawa, Sunda, dsb), biasanya dimainkan oleh seseorang yang disebut dalang.
Sedangkan menurut Kamus Umum Bahasa Sunda, wayang didefinisikan
sebagai boneka atau penjelmaan dari manusia yang terbuat dari kulit atau pun
kayu. Namun ada juga yang mengartikan bahwa perkataan wayang berasal dari
bahasa Jawa, yang artinya perwajahan yang mengandung penerangan.
Seni Wayang, merupakan salah satu bentuk teater tradisional yang paling
tua di Indonesia. Pada masa pemerintahan Raja Balitung pertunjukan wayang telah
ada, hal tesebut ditemukan pada prasasti Balitung tahun 907 Masehi. Sejarah
perkembangan seni wayang di Indonesia, yaitu pada abad ke-4 orang-orang Hindu
datang ke Indonesia, melalui jalur perdagangan. Pada kesempatan tersebut
orang-orang Hindu membawa ajarannya dengan Kitab Weda dan epos cerita maha
besar India yaitu Mahabharata dan Ramayana dalam bahasa Sanskrit. Kemudian
,Abad ke-9, bermunculan cerita-cerita dengan bahasa Jawa kuno dalam bentuk
kakawin yang bersumber dari cerita Mahabharata atau Ramayana, yang telah
diadaptasi.
Berhubungan dengan itu, makalah ini akan memaparkan hasil studi pustaka
yang telah kami lakukan, meliputi; sejarah seni wayang/asal-usul wayang di
Indonesia, jenis-jenis wayang, serta nilai-nilai yang terkandung dari
pertunjukan seni wayang.
Adapun hal yang melatarbelakangi studi pustaka dan analisis Seni Wayang
ini adalah sebagai wujud apresiasi kami sebagai penikmat seni terhadap budaya
tradisional, yang kian hari semakin tersisih oleh budaya asing. Semoga dengan
penyusunan makalah ini, kita menyadari keindahan dan keagungan budaya
tradisional yang harus kita lestarikan, kita jaga dan kita banggakan sebagai
kekayaan budaya bangsa.
Kami menyadari terdapat banyak kekurangan dalam penyajian makalah ini,
maka itu kami menanti adanya kritik membangun dari pembaca guna perbaikan pada
makalah-makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.
BAB:
II
Sejarah
wayang kulit
Wayang kulit merupakan
sejenis hiburan pementasan bayang yang terhasil dari patung yang dibuat
daripada belulang (kulit lembu/kerbau/kambing). Terdapat pelbagai jenis wayang
kulit bergantung kepada tempat asal mereka. Ia merupakan seni tradisional Asia
Tenggara merangkumi Thailand,Malaysia dan Indonesia, yang
terutama berkembang diPhattalung wilayah
selatan Thailand,Jawa dan disebelah timur
semenanjung Malaysiaseperti di Kelantan dan Terengganu.
Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang yang
juga menjadi narator dialog tokoh-tokoh wayang, dengan diiringi oleh
muzik gamelan yang dimainkan sekelompok nayaga dantembang yang
dinyanyikan oleh para pesinden.
Dalang memainkan wayang
kulit di balik kelir, iaitu layar yang terbuat dari kain putih, sementara
di belakangnya disuluhkan lampu eletrik atau lampu minyak (dian), sehingga para
penonton yang berada disebelah berlawanan layar dapat melihat bayangan wayang
yang berada ke kelir. Untuk dapat memahami cerita wayang (lakon), penonton
harus memiliki pengetahuan akan tokoh-tokoh wayang yang bayangannya tampil di
layar. Wayang kulit lebih popular di Jawa bagian tengah dan timur,
sedangkan wayang golek lebih sering dimainkan diJawa
Barat.
Wayang salah satu puncak seni budaya bangsa
Indonesia yang paling menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Budaya
wayang meliputi seni peran, seni suara, seni musik, seni tutur, seni
sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni perlambang. Budaya wayang,
yang terus berkembang dari zaman ke zaman, juga merupakan media penerangan,
dakwah, pendidikan, hiburan, pemahaman filsafat, serta hiburan. Menurut
penelitian para ahli sejarah kebudayaan, budaya wayang merupakan budaya asli
Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Keberadaan wayang sudah berabad-abad
sebelum agama Hindu masuk ke Pulau Jawa.
Walaupun cerita wayang yang populer di masyarakat masa kini merupakan
adaptasi dari karya sastra India, yaitu Ramayana dan Mahabarata. Kedua induk
cerita itu dalam pewayangan banyak mengalami pengubahan dan penambahan untuk
menyesuaikannya dengan falsafah asli Indonesia. Penyesuaian konsep filsafat ini
juga menyangkut pada pandangan filosofis masyarakat Jawa terhadap kedudukan
para dewa dalam pewayangan. Para dewa dalam pewayangan bukan lagi merupakan
sesuatu yang bebas dari salah, melainkan seperti juga makhluk Tuhan lainnya,
kadang-kadang bertindak keliru, dan bisa jadi khilaf. Hadirnya tokoh panakawan
dalam_ pewayangan sengaja diciptakan para budayawan Indonesia (tepatnya
budayawan Jawa) untuk memperkuat konsep filsafat bahwa di dunia ini tidak ada
makhluk yang benar-benar baik, dan yang benar-benar jahat. Setiap makhluk
selalu menyandang unsur kebaikan dan kejahatan. Dalam disertasinya berjudul
Bijdrage tot de Kennis van het Javaansche Tooneel (1897), ahli sejarah
kebudayaan Belanda Dr. GA.J. Hazeau menunjukkan keyakinannya bahwa wayang
merupakan pertunjukan asli Jawa. Pengertian wayang dalam disertasi Dr. Hazeau
itu adalah walulang inukir (kulit yang diukir) dan dilihat bayangannya pada
kelir. Dengan demikian, wayang yang dimaksud tentunya adalah Wayang Kulit
seperti yang kita kenal sekarang.
Mengenai asal-usul wayang ini, di dunia ada dua pendapat. Pertama,
pendapat bahwa wayang berasal dan lahir pertama kali di Pulau Jawa, tepatnya di
Jawa Timur. Pendapat ini selain dianut dan dikemukakan oleh para peneliti dan
ahli-ahli bangsa Indonesia, juga merupakan hasil penelitian sarjana-sarjana
Barat. Di antara para sarjana Barat yang termasuk kelompok ini, adalah Hazeau,
Brandes, Kats, Rentse,
dan Kruyt. Alasan mereka cukup kuat. Di antaranya,
bahwa seni wayang masih amat erat kaitannya dengan keadaan sosiokultural dan
religi bangsa Indonesia, khususnya orang Jawa. Panakawan, tokoh terpenting
dalam pewayangan, yakni Semar, Gareng, Petruk, Bagong, hanya ada dalam
pewayangan Indonesia, dan tidak di negara lain.
Selain itu, nama dan istilah teknis pewayangan, semuanya berasal dari
bahasa Jawa (Kuna), dan bukan bahasa lain. Sementara itu, pendapat kedua
menduga wayang berasal dari India, yang dibawa bersama dengan agama Hindu ke
Indonesia. Mereka antara lain adalah Pischel, Hidding, Krom, Poensen, Goslings,
dan Rassers. Sebagian besar kelompok kedua ini adalah sarjana Inggris, negeri
Eropa yang pernah menjajah India. Namun, sejak tahun 1950-an, buku-buku pewayangan
seolah sudah sepakat bahwa wayang memang berasal dari Pulau Jawa, dan sama
sekali tidak diimpor dari negara lain. Budaya wayang diperkirakan sudah lahir
di Indonesia setidaknya pada zaman pemerintahan Prabu Airlangga, raja
Kahuripan (976 -1012), yakni ketika kerajaan di Jawa Timur itu sedang
makmur-makmurnya. Karya sastra yang menjadi bahan cerita wayang sudah ditulis
oleh para pujangga Indonesia, sejak abad X. Antara lain, naskah sastra Kitab
Ramayana Kakawin berbahasa Jawa Kuna ditulis pada masa pemerintahan raja Dyah
Balitung (989-910), yang merupakan gubahan dari Kitab Ramayana karangan
pujangga India, Walmiki. Selanjutnya, para pujangga Jawa tidak lagi hanya
menerjemahkan Ramayana dan Mahabarata ke bahasa Jawa Kuna, tetapi menggubahnya
dan menceritakan kembali dengan memasukkan falsafah Jawa kedalamnya. Contohnya,
karya Empu Kanwa Arjunawiwaha Kakawin, yang merupakan gubahan yang berinduk
pada Kitab Mahabarata. Gubahan lain yang lebih nyata bedanya derigan cerita
asli versi India, adalah Baratayuda Kakawin karya Empu Sedah dan Empu Panuluh.
Karya agung ini dikerjakan pada masa pemerintahan Prabu Jayabaya, raja Kediri
(1130 - 1160). Wayang sebagai suatu pergelaran dan tontonan pun sudah dimulai
ada sejak zaman pemerintahan raja Airlangga. Beberapa prasasti yang dibuat pada
masa itu antara lain sudah menyebutkan kata-kata "mawayang" dan
`aringgit' yang maksudnya adalah pertunjukan wayang. Mengenai saat kelahiran
budaya wayang, Ir. Sri Mulyono dalam bukunya Simbolisme dan Mistikisme dalam
Wayang (1979), memperkirakan wayang sudah ada sejak zaman neolithikum, yakni
kira-kira 1.500 tahun sebelum Masehi. Pendapatnya itu didasarkan atas tulisan
Robert von Heine-Geldern Ph. D, Prehistoric Research in the Netherland Indie
(1945) dan tulisan Prof. K.A.H. Hidding di Ensiklopedia Indonesia halaman 987.
Kata `wayang' diduga berasal dari kata `wewayangan', yang artinya bayangan.
Dugaan ini sesuai dengan kenyataan pada pergelaran Wayang Kulit yang
menggunakan kelir, secarik kain, sebagai pembatas antara dalang yang memainkan
wayang, dan penonton di balik kelir itu. Penonton hanya menyaksikan
gerakan-gerakan wayang melalui bayangan yang jatuh pada kelir. Pada masa itu
pergelaran wayang hanya diiringi oleh seperangkat gamelan sederhana yang
terdiri atas saron, todung (sejenis seruling), dan kemanak. Jenis gamelan lain
dan pesinden pada masa itu diduga belum ada. Untuk lebih menjawakan budaya
wayang, sejak awal zaman Kerajaan Majapahit diperkenalkan cerita wayang lain
yang tidak berinduk pada Kitab Ramayana dan Mahabarata. Sejak saat itulah
ceritacerita Panji; yakni cerita tentang leluhur raja-raja Majapahit, mulai
diperkenalkan sebagai salah satu bentuk wayang yang lain. Cerita Panji ini
kemudian lebih banyak digunakan untuk pertunjukan Wayang Beber.
Tradisi menjawakan cerita wayang juga diteruskan oleh
beberapa ulama Islam, di antaranya oleh para Wali Sanga. Mereka mulai
mewayangkan kisah para raja Majapahit, di antaranya cerita Damarwulan.
Masuknya agama Islam ke Indonesia sejak abad ke-15
juga memberi pengaruh besar pada budaya wayang, terutama pada konsep religi
dari falsafah wayang itu. Pada awal abad ke-15, yakni zaman Kerajaan Demak,
mulai digunakan lampu minyak berbentuk khusus yang disebut blencong pada
pergelaran Wayang Kulit. Sejak zaman Kartasura, penggubahan cerita wayang yang
berinduk pada Ramayana dan mahabarata makin jauh dari aslinya. Sejak zaman
itulah masyarakat penggemar wayang mengenal silsilah tokoh wayang, termasuk
tokoh dewanya, yang berawal dari Nabi Adam. Sisilah itu terus berlanjut hingga
sampai pada raja-raja di Pulau Jawa. Dan selanjutnya, mulai dikenal pula
adanya cerita wayang pakem. yang sesuai standar cerita, dan cerita wayang carangan
yang diluar garis standar. Selain itu masih ada lagi yang disebut lakon
sempalan, yang sudah terlalu jauh keluar dari cerita pakem. Memang, karena
begitu kuatnya seni wayang berakar dalam budaya bangsa Indonesia, sehingga
terjadilah beberapa kerancuan antara cerita wayang, legenda, dan sejarah.
Jika orang India beranggapan bahwa kisah Mahabarata serta Ramayana
benar-benar terjadi di negerinya, orang Jawa pun menganggap kisah pewayangan
benar-benar pernah terjadi di pulau Jawa. Dan di wilayah Kulonprogo sendiri
wayang masih sangatlah diminati oleh semua kalangan. Bukan hanya oleh orang tua
saja, tapi juga anak remaja bahkan anak kecil juga telah biasa melihat
pertunjukan wayang. Disamping itu wayang juga biasa di gunakan dalam acara-acara
tertentu di daerah kulonprogo ini, baik di wilayah kota Wates ataupun di daerah
pelosok di Kulonprogo.
BAB
: III
JENIS
DAN CARA PEMBUATAN WAYANG KULIT
Ø JENIS – JENIS WAYANG KULIT
·
Wayang Kulit
Cengkok Kedu
·
Wayang Kulit
Gagrag Jawa Timuran
·
Wayang Bali
·
Wayang
Palembang (Sumatera Selatan)
·
Wayang
Betawi (Jakarta)
·
Wayang
Madura (sudah punah)
Ø Dalang wayang kulit
Dalang adalah bagian terpenting dalam pertunjukan
wayang kulit (wayang purwa). Dalam terminologi bahasa jawa, dalang (halang)
berasal dari akronim ngudhal Piwulang. Ngudhal artinya membongkar atau
menyebar luaskan dan piwulang artinya ajaran, pendidikan, ilmu, informasi. Jadi
keberadaan dalang dalam pertunjukan wayang kulit bukan saja pada
aspek tontonan (hiburan) semata, tetapi juga tuntunan. Oleh
karena itu, disamping menguasai teknik pedalangan sebagai aspek hiburan, dalang
haruslah seorang yang berpengetahuan luas dan mampu memberikan pengaruh.
Dalang-dalang wayang kulit yang mencapai puncak
kejayaan dan melegenda antara lain almarhum Ki Tristuti Rachmadi (Solo),
almarhum Ki Narto Sabdo (Semarang, gaya Solo), almarhum Ki Surono
(Banjarnegara, gaya Banyumas), almarhum Ki Timbul Hadi Prayitno (Yogya),
almarhum Ki Hadi Sugito (Kulonprogo, Jogjakarta),Ki Soeparman (gaya Yogya), Ki
Anom Suroto (gaya Solo), Ki Manteb Sudarsono (gaya Solo), Ki Enthus
Susmono, Ki Agus Wiranto, almarhum Ki Suleman (gaya Jawa
Timur). Sedangkan Pesinden yang legendaris adalah almarhumah Nyi Tjondrolukito.
Kehalusan serta ketinggian kesenian kerja tangan
tertera pada watak-watak wayang kulit. Ciri pembuatannya melambangkan
ketelitian serta ketinggian kesenian pembuatannya. Watak -watak atau
patung-patung wayamg kulit biasanya diperbuat daripada kulit lembu. Nilai dan
mutu kulit lenbu hendaklah memenuhi spesifikasi dan kriteria tukang-tukang
wayang kulit. Kulit lembu betina menjadi pilihan berbanding dengan kulit lembu
jantan, kerana ia lebih besar dan lembut. Kulit - kulit ini boleh didapati
dengan membeli daripada penjual daging tempatan atau di tempat penyembelihan.
Patung wayang yang dibuat dari kulit lebih tahan lama dan tahan melebihi 100
tahun jika dirawat dengan baik. Menurutt paham zaman dahulu yang masih dipegang
kuat oleh pembuat patung, setiap patung wayang kulit mestilah dibuat dari kulit
dan bukan dari kayu atau lain-lain. Masih ada yang percaya bahwa, jika
dibiarkan anak-anak atau siapa saja bermain dengan wayang kulit dan menganti
patung wayang sebenarnya dengan wayang kayu. Dapat menghalangi anak anak
tersebut dari penyakit karena patung wayang kulit dipercayai mempunyai
penjaganya sendiri.
1. Bagi kulit-kulit yang telah dipilih, kerja awal
yang perlu dilakukan ialah mengeluarkan lebihan daging dan lemak yang melekat
pada bidang bersegi empat, yang dibuat dari kayu atau batang buluh. Kerja-kerja
pemilihan kulit ini untuk memudahkan lebihan daging dan lemak melekat dikikis
dengan "pisau raut"atau dikenali dengan nama "pisau wali"
ketelitian menjadi sifat utama kerja pengikisan untuk menghindari kulit menjadi
mudah terkoyak, juga untuk memastikan kulit itu benar-benar bersih.
2. Kulit yang sudah dibersihkan dijemur sehingga
kering selama dua atau tiga dari, tergantung pada keadaan cuaca. Kulit tersebut
biasanya dijemur agak jauh dari rumah untuk menhindari bau busuk. Setelah kulit
cukup kering, pengikisan dilakukan dengan pisau raut.
3. Setelah dikikis dan bersih dari bulu, kulit
tersebut dibasuh dan dijemur untuk yang kedua kali. Setelah kulit yang dijemur
itu kering, tukang wayang akan memulai melakar patung-patung wayang yang hendak
dibuat.
4. Biasanya lakaran watak-watak wayang dibuat di
atas kertas putih tipis.Walaupun watak-watak wayang diasaskan kepada
watak-watak wayang kulit Melayu purba, kemahiran dan kreativitas amatlah perlu
untuk membuat watak wayang kulit yang halus dan menarik.
5. Penjenisan corak dan motif perlu disusun dengan
teratur dan sesuai dengan watak wayang yang dibuat. Biasanya watak wayang kulit
Melayu berukuran ±71 sentimater panjang dan lebarnya tidak lebih dari 30
sentimeter. Lakaran pada kertas yang telah disediakan itu seterusnya akan
digunting atau dipotong mengikut profil. Tukang wayang kemudian menempelkan
lakaran tersebut pada kulit dengan menggunakan lem. biasanya lem yang digunakan
dibuat dari kanji atau lem yang dapat larut dalam air.
6. Kertas lakaran yang dilekatkan pada kulit
kemudian dipahat mengikuti lakaran. Setelah selesai memahat, kertas lakaran
putih yang masih melekat pada kulit dilepas atau dicuci. untuk dalang mereka
menggunakan berus tembaga halus dan air untuk menggosok dan membersihkan kertas
yang melekat pada kulit.
7. Kulit yang telah dicuci dibiarkan mengering.
Watak-watak wayang itu seterusnya akan diperkuat dengan sebilah bambu. bambu
yang diraut membentuk bulat leper serta runcing dibagian pangkalnya diikat
tegak di tengah-tengah patung wayang. Bambu ini sebagai "tulang"
kepada patung-patung wayang tersebut. Tulang pemacak ini akan dibelah dua dari
ujung hingga kira-kira 30.5 sentimeter dari pangkalnya. Seterusnya patung
wayang itu diapit di antara belahan tersebut lalu diikat dengan benang pada
jarak kira-kira 5 sentimeter.
8. Selain bambu yang dapat dijadikan tulang untuk
patung-patung wayang, kayu serta tanduk kerbau juga dapat digunakan. karena
kayu dan tanduk kerbau sulit didapat dan sulit dibentuk, maka bambu berduri
menjadi pilihan utama pengrajin wayang. Selain mudah di peroleh bambu berduri
juga tahan lama serta ringan. Warna juga memainkan peranan penting pada bentuk
wayang kulit. Ia dapat menberikan perbedaan antara watak-watak yang lembut dan
watak-watak yang garang.
Beberapa
jenis wayang kulit dan harga penjualannya:
Kayon atau Gunungan seringkali dipakai untuk membuka
dan mengakhiri pertunjukkan wayang kulit. Pada mulanya hanya ada dua jenis
gunungan yaitu gunungan gapuran dan blumbangan. Namun pada
perkembanganya, saat ini banyak dilahirkan jenis-jenis gunungan yang baru.
hargaRp. 1.500.000,00
hargaRp. 1.500.000,00
Kelompok wayang ageng adalah tokoh-tokoh yang
memiliki ukuran besar. Biasanya akan disumping (ditata) pada bagian tersepan.
Yang termasuk pada kelompok wayang ageng antara lain adalah tokoh:Werkudara,
Ramabargawa, Duryudana, Batara Bayu, Kumbakarna, Batara Kala, dll.
harga: Rp. 1.200.000,00
Kelompok wayang ini mencakup Raja dan ksatria yang
gagah. Juga dikenal sebagai kelompok wayang sabet, karena wayang seukuran ini
sering disabetkan artinya sering di perang-kan. Yang termasuk pada kelompok
wayang dugangan adalah tokoh: Boma Narakasura, Gathutkaca, Antareja, Baladewa,
Seta, Burisrawa, Dasamuka, Indrajit, dll.
Harga: Rp. 900.000,00
4. Kelompok Dugangan Alit
Harga: Rp. 900.000,00
4. Kelompok Dugangan Alit
Kelompok ini juga dikenal kelompok wayang sabet,
namun memiliki ukuran yang relatif kecil. Yang termasuk pada kelompok wayang
dugangan alit adalah tokoh: Anoman, Setyaki, Aswatama, Ugrasena, Utarra,
Wratsangka, Antasena, Pragota, Prabawa, Udawa,
dll.
harga: Rp. 700.000,00
5. Kelompok Wayang Katongan
harga: Rp. 700.000,00
5. Kelompok Wayang Katongan
Kelompok katongan biasanya mencakup raja dan ksatria
serta dewa-dewa yang berkarakter halus dan bertutur sopan. Yang termasuk pada
kelompok wayang katongan adalah tokoh: Kresna, Arjuna, Puntadewa, Ramawijaya,
Parikesit, Batara Guru, Salyapati, Basudewa, dll.
harga: RP.650.000,00
harga: RP.650.000,00
BAB
: IV
PENUTUP
Kesimpulan
Salah satu karya seni yang berkembang di Indonesia adalah seni wayang,
yang merupakan salah satu bentuk teater tradisional yang paling tua. Pada masa
pemerintahan Raja Balitung, telah ada petunjuk adanya pertunjukan wayang, yaitu
yang terdapat pada prasasti Balitung dengan tahun 907 Masehi, yang mewartakan
bahwa pada saat itu telah dikenal adanya pertunjukan wayang.
Wayang berasal dari kata wayangan yaitu sumber ilham dalam menggambar
wujud tokoh dan cerita sehingga bisa tergambar jelas dalam batin si penggambar
karena sumber aslinya telah hilang,
Seni wayang yang terkenal di Indonesia ada tiga, yaitu
wayang golek, wayang kulit dan wayang orang.
Wayang kulit
adalah seni tradisional indonesia yang dimiliki oleh indonesia sudah lama
sekali. Wayang kulit ini merupakan seni asli indonesia. Dalam pembagian seni
kriya, wayang kulit ini dapat di masukan dalam seni kriya kulit. Karna bahan
pembuatan wayang kulit menggunakan kulit hewan lembu betina.
Saran
Kesenian tradisional seperti wayang kulit ini
sebaiknya harus lebih di lestarikan, agar kesenian wayang kulit tidak punah
termakan waktu. Kesenian wayang kulit juga sebaiknya di ajarkan turun menurun
agar ajarannya tidak menghilang .
Kritik
Kesenian wayang kulit itu sangat bagus, tetapi akan
lebih bagus lagi jika pada saat pementasan wayang kulit, yang mendalanginya itu
adalah anak – anak muda sehingga kesenian itu tidak punah.
Daftar
pustaka:
Hidding. 1945. Ensiklopedia Indonesia. W. Van Hoeve, Bandung
Sukmo. 1973. Pengantar Kebudayaan
I. Kanisius: Bandung
0 komentar:
Posting Komentar