Kali ini aku bakal mengepos salah satu hari raya dari salah satu umat beragama di Indonesia. yaitu hari raya umat Hindu yang bernama hari raya "Siwaratri"bukan "siwalatri".
Hari Raya Siwaratri merupakan hari raya berdasarkan atas pranata masa yang dirayakan setiap setahun sekali. Tepatnya jatuh pada Purwaning Tilem Kepitu. untuk lebih lengkap-nya silahkan baca laporan tentang hari raya SIWARATRI di bawah ini:
Hari
Raya Siwaratri
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Hari Siwaratri menyimpan makna serta simbul yang
sangat mendalam sebagai bahan renungan yang tak pernah habis untuk dikaji.
Tidak cukup hanya dengan prosesi ritualitas semata, melainkan harus dipahami
makna-makna yang terkandung didalamnya. Dengan adanya pemahaman yang benar
serta dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, maka hari suci keagamaan
akan sesuai dengan tujuan perayaan hari raya tersebut. Kegiatan ritual
Siwaratri mesti dilaksanakan sesuai petunjuk sastra. Di samping itu juga tidak
kalah pentingnva yakni merealisasikan makna-makna simbolis yang terkandung
didalamnya ke dalam wujud/kehidupan sehari-hari.
Hari suci Siwaratri sangat identik dengan begadang
semalam suntuk serta cerita Lubdhaka yang dikarang oleh Empu Tanakung.
Perayaan Siwaratri adalah salah satu bentuk
pelaksanaan ritual bagi umat Hindu yang mengajarkan kita untuk selalu
memelihara kesadaran diri agar terhindar dari perbuatan dosa dan papa.
Diakui atau tidak, manusia adalah gudangnya
kealpaan (lupa), hal ini disebabkan karena manusia memiliki keterbatasan.
Karena sering mengalami lupa itu, maka setiap tahun pada sasih kepitu (bulan
ketujuh menurut penanggalan Bali), dilangsungkanlah upacara Siwa Ratri dengan inti
perayaan malam pejagraan. Pejagraan yang asal katanya jagra itu artinya sadar,
eling atau melek. Orang yang selalu jagra-lah yang dapat menghindar dari
perbuatan dosa.
1.2
Rumusan Masalah
1.2.1
Apakah pengertian dari hari raya Siwaratri ?
1.2.2
Apa saja prosesi kegiatan saat menjalankan hari raya Siwaratri ?
1.2.3
Bagaimana tata cara melaksanakan upacara Siwaratri?
1.2.4
Apakah makna dari perayaan hari raya Siwaratri ?
1.3
Tujuan
1.3.1
Untuk memenuhi tugas agama
1.3.2
Untuk memahami pengertian dari hari raya Siwaratri
1.3.3 Untuk mengetahui prosesi kegiatan yang dilakukan
saat menjalankan hari raya Siwaratri
1.3.4
Untuk mengetahui tata cara upacara Siwaratri
1.3.5
untuk memahami makna dari perayaan hari raya Siwaratri
1.4
Manfaat
Dengan
penulisan makalah ini dapat memberikan pengetahuan kepada pembaca mengenai
pengertian, prosesi serta makna dari perayaan hari raya Siwaratri. Dan pembaca
dapat menerangkan pikiran serta menjauhkan diri dari hal-hal yang bersifat
duniawi serta melatih diri dalam mengendalikan hawa nafsu jahat yang ada di
dalam diri setiap manusia dengan jalan melaksanakan Brata Siwaratri yaitu
Upawasa, Monobrata, dan Jagra.
1.5
Metoda Penulisan
Metoda
yang saya gunakan dalam penulisan makalah ini antara lain :
1. Mencari materi mengenai
Siwaratri melalui berbagai sumber, baik dari buku - buku agama Hindu, maupun
dari internet
2. Mengumpulkan informasi
– informasi yang telah didapat
3. Membuat kerangka
penulisan dalam kertas buram
BAB II
ISI
2.1
Pengertian
Hari Raya Siwaratri merupakan hari raya berdasarkan
atas pranata masa yang dirayakan setiap setahun sekali. Tepatnya jatuh pada
Purwaning Tilem Kepitu.
Difinisi Siwaratri menurut Ketut Sukartha dan kata
“Siwaratri” berasal Siwa dan Ratri. Siwa artinya Puncak dan Ratri artinya
malam. Siwaratri berarti puncak malam. Sedangkan difinisi menurut Tjok Rai
Sudharta “Siwaratri artinya malam Siwa. Siwa berasal dari bahasa sansekerta
yang artinya baik hati, suka memaafkan, memberi harapan dan membahagiakan.
Dalam hal ini kata Siwa adalah sebuah gelar terhadap menifestasi Ida Sang Hyang
Widi Wasa yang diberi nama gelar kehormatan “Dewa Siwa” yang berfungsi sebagai
pemralina atau pelebur. Ratri artinya malam. Malam disini maksudnya kegelapan.
Jadi Siwaratri artinya malam untuk melebur kegelapan hati menuju jalan yang
terang.
Siwa Ratri pada hakekatnya adalah merupakan kegiatan
namasmaranam pada Siwa. Namasmaranam artinya selalu mengingat dan memuja nama
Tuhan yang jika dihubungkan dengan Siwa Ratri adalah nama Siwa. Nama Siwa memiliki
kekuatan untuk melenyapkan segala kegelapan bathin. Jika kegelapan itu mendapat
sinar dari Hyang Siwa, maka lahirlah kesadaran budhi yang sangat dibutuhkan
setiap saat dalam hidup ini.
2.2
Prosesi Kegiatan
Kegiatan-
kegiatan yang dilaksanakan pada hari tersebut adalah sebagai berikut:
1. Sebelum melaksanakan
seluruh kegiatan, maka terlebih dahulu dilaksanakan persembahyangan yang
diperkirakan selesai tepat pada jam 06.00 dinihari
2. Selanjutnya tepat pada
jam 06.00 panglong ping 1 sampai pukul 18.00 Tileming sasih
Kepitu dimulai kegiatan Monabrata (tidak berbicara), Upawasa (tidak makan
dan minum) dan Mejagra (tidak tidur).
3. Brata Siwaratri
dilaksanakan selama 36 jam. Brata Siwaratri dengan melaksanakanMonabrata 12
jam, Upawasa 24 jam, Mejagra selama 36 jam.
Adapun
Tiga Tingkatan Pelaksanaan Brata Siwa Ratri :
1. Nista,
yaitu pelaksanaan Brata Siwa Ratri dengan Jagra, artinya
kesadaran itu dalam pelaksanaan Brata Siwa Ratri disimpulkan dengan melek
semalam suntuk, sambil memusatkan segala aktifitas diri pada Tuhan Yang Maha
Esa dalam manifestasinya sebagai Sanghyang Siwa. Ada yang melaksanakan jagra
semalam suntuk dengan membahas sastra-sastra agama,seperti kakawin dalam
berbagai judul. Ada pula yang melaksanakan sauca dan dhyana. Dalam kitab
Wrhaspati Tattwa disebutkan, “Nitya majapa maradina sarira”. artinya
sauca adalah melakukan japa dan selalu membersihkan badan. Sedangkan Dhyana
dalam kitab Sarasamuscaya disebutkan, Nitya Siwa Smaranam, artinya
selalu mengingat dan memuja Sanghyang Siwa. Brata Siwa Ratri dengan jagra
tidaklah tepat kalau hanya begadang semalam suntuk tanpa arah menuju kesucian
Tuhan.Jagra dalam pengertian yang sebenarnya adalah orang yang memiliki
kesadaran budhi. Melek semalam suntuk hanyalah prilaku yang bermakana simbolis
untuk memacu tumbuhnya budhi yang sebenarnya.
2. Madya
adalah pelaksanaan Brata Siwaratri dengan jagra dan
upawasa. Upawasa dalam kitab Agni Purana berarti “kembali suci”. Yang
dimaksud kembali suci ini adalah dilatihnya indriya melepaskan kenikmatan
makanan. Lezatnya makanan adalah sebatas lidah. Kalau sudah lidah dilewati
makanan itu tidak akan terasa lezat. Lidah harus dilatih untuk tidak terikat
pada kelezatan makanan.
3. Uttama,
yaitu pelaksanaan Brata Siwa Ratri dengan cara Jagra,
Upawasa, dan Mona Brata, artinya pelaksanaan dengan cara melek atau menyadarkan
diri, menahankan kenikmatan makanan dan berusaha mengurangi berbicara (Mona).
Mona artinya tanpa mengeluarkan ucapan-ucapan yang bertujuan melatih diri dalam
hal berbicara agar biasa berbicara dengan penuh pengendalian sehingga tidak
keluar ucapan-ucapan yang tidak patut diucapkan. Mona berarti melatih
pembicaraan pada diri sendiri dengan merenungkan kesucian.
Pada waktu pelaksanaan Brata Siwaratri sebagai lambang
yang bernilai sakral bertujuan untuk melenyapkan sifat-sifat buruk. Menurut
Tjok Rai Sudharta, brata Siwaratri berasal dari bahasa Sansekerta. Kata “Brata”
artinya janji, sumpah, pandangan, kewajiban, laku utama, keteguhan hati. Brata
Siwaratri dapat disimpulkan sebagai laku utama/janji untuk berteguh hati
melaksanakan ajaran Siwaratri. Brata Siwaratri tidak berhenti sampai
pelaksanaan Hari Raya Siwaratri saja, melainkan perlu diaplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari. Tanpa adanya aplikasi/wujud dalam kehidupan sehari-hari
maka hari raya itu akan tanpa makna dan akan lewat begitu saja.
1. Jagra
(berjaga/tidak tidur/melek/ waspada)
Brata Jagra ini paling mudah dilakukan, sebab semua
orang mampu untuk tidur semalam suntuk. Dalam cerita Lubdhaka jagra ini
disimbolkan oleh Lubdhaka yang tidak tidur di atas pohon bila semalam suntuk.
Untuk mengusir kantuknya Lubdhaka memetik daun “bila” sehingga dosanya
terlebur. Jagra dalam pelaksanaan Siwaratri dapat dilakukan dengan jalan tidak
tidur semalam 36 jam.
Dalam kehidupan sehari-hari makna jagra ini dapat
diaplikasikan dengan cara selalu eling (waspada, ingat, berfikir, dll.)
terhadap sang diri. Dalam kehidupan ini kita tidak bisa lepas dan musuh-musuh,
baik itu yang berasal dari dalam diri (sad ripu, sapta timira dan Sad atatayi)
maupun dari luar diri. Untuk menghadapi musuh-musuh tersebut diperlukan
kewaspadaan yang relatif tinggi, sehingga kita bisa terlepas dari musuh-musuh
tersebut. Kewaspadaan yang tinggi tentunya diperoleh dengan menggunakan pikiran.
Kedatangan Hari Suci Siwaratri mengajak kita untuk
merenung agar selalu tetap mawas diri dan menyadari diri kita yang sejati.
Sebagaimana tersurat didalam Wrehaspati Tatwa, bahwa nafsu dan keinginan tidak
pernah putus didalam diri kita. Kesadaran akan lenyap bila kita hanya tidur.
Orang yang selalu terbelenggu oleh tidur (turu) disebut dengan papa. Pengertian
papa sangat berbeda dengan pengertian dosa. Pengertian papa dalam hal ini
adalah keadaan yang selalu terbelenggu oleh raga atau indriya yang dinyatakan
sebagai turu (tidur). Tidur berarti juga malas. Orang yang malas bekerja akan
menimbulkan kekacauan pikiran sehingga lupa akan keberadaan dirinya sendiri.
Dengan demikian pikiran merupakan sumber segala yang dilakukan oleh seseorang.
Baik-buruk perbuatan manusia merupakan pencerminan dari pikiran. Bila baik dan
suci pikiran seseorang maka sudah barang tentu perbuatan dan segala penampilan
akan bersih dan baik. Berusaha berpikir untuk tidak menginginkan sesuatu yang
tidak halal, berfikir buruk serta percaya dengan hukum karma.
1. Upawasa
(tidak makan dan minum)
Upawasa dapat diartikan sebagai pengendalian diri
dalam hal makan dan minum. Pada waktu Siwaratri puasa ini dilakukan dengan
jalan tidak makan dan minum. Dalam kehidupan sehari-hari dapat diaplikasikan
dengan cara selalu makan makanan yang bergizi yang dibutuhkan oleh jasmani
maupun rohani. Disamping itu, dalam hal untuk mendapatkan makanan yang kita
makan hendaknya dicari dengan usaha-usaha yang digariskan oleh dharma.
Melalui upawasa ini kita dituntut untuk selektif dalam
hal makan dan minum. Makanan yang kita makan disamping untuk kebutuhan tubuh,
juga nanti akan bersinergi membentuk dan merangsang pikiran, perkataan dan
perbuatan. Kualitas makan akan mempengaruhi intensitas Tri Guna (sattwam, rajas
dan tamas) pada manusia. Makanan yang kita makan hendaknya dimasak oleh orang
yang berhati baik yang memperhatikan kesucian dan gizi dari makanan tersebut.
Disamping itu juga, cara memasak makanan perlu memperhatikan tentang suci dan
cemar, bersih dan kotor serta cara penyajian makanan.
Disamping makanan, minuman juga diatur oleh sastra
agama. Minuman yang dilarang orang agama yaitu minuman yang banyak mengandung
penyakit sehingga mempengaruhi pikiran. Minuman yang perlu dihindari yakni
minuman yang menyebabkan mabuk. Orang yang sering mabuk prilakunya akan dapat
merugikan diri sendiri maupun orang lain.
Setiap orang dengan anggota badannya akan berprilaku
dan berbuat. Jika dilandasi dengan ajaran agama sudah barang tentu perbuatan
yang dilakukan adalah perbuatan yang baik dan benar. Oleh karena itu, perbuatan
yang baik dan benar tersebut dinamakan Kayika Parisudha. Setiap orang selagi
masih hidup, selamanya akan berbuat dan melakukan sesuatu perbuatan (karma).
Karma ini akan menentukan kehidupan seseorang. Berkarma dalam kehidupan
sekarang ini berarti mempersiapkan diri untuk kehidupan yang akan datang. Orang
yang sadar/eling akan berusaha dalam kehidupannya untuk berbuat yang baik
berdasarkan darma. Hal ini disebabkan karena semua orang mengharapkan adanya
kehidupan yang lebih baik dan lebih menyenangkan dimasa-masa yang akan datang.
2. Monobrata
(berdiam diri/tidak bicara)
Monobrata ini dapat diartikan berdiam diri atau tidak
mengeluarkan kata-kata. Brata ini relatif sulit untuk dilakukan. Aplikasi dalam
kehidupan sehari-hari dari berata ini yakni berkata-kata atau berbicara yang
dapat menyejukkan hati orang lain. Perkataan sangat perlu diperhatikan dan
diteliti sebelum dikeluarkan. Karena perkataan merupakan alat yang terpenting
bagi manusia, guna menyampaikan isi hati dan maksud seseorang. Dari kata-kata
kita memperoleh ilmu pengetahuan, mendapat suatu hiburan, serta nasehat nasehat
yang sangat berguna baik bagi diri sendiri maupun orang lain.
Kata-kata yang baik, benar dan jujur serta diucapkan
dengan lemah lembut akan memberikan kenikmatan bagi pendengarnya. Dengan
perkataan seseorang akan memperoleh kebahagiaan, kesusahan, teman dan kematian.
Hal ini akan memberi arti yang sesungguhnya tentang kegunaan kata dan ucapan
sebagai sarana komunikasi antara manusia yang satu dengan yang lainnya.
Perkataan yang baik, sopan, jujur dan benar itulah
yang perlu kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Menghindari kata-kata
jahat menyakitkan, kotor (ujar ahala), keras, menghardik, kasar (ujar apergas),
memfitnah (ujar pisuna), bohong (ujar pisuna) dan lain-lain yang perlu
dihindari dalam pergaulan.
Dengan demikian, hakekatnya Hari Suci Siwaratri adalah
sebagai media introsfeksi diri untuk senantiasa mawas diri serta menyadari akan
Sang Diri Sejati. Siwaratri bukanlah malam penebusan dosa, tetapi malam yang
disediakan secara khusus untuk senantiasa mencapai kesadaran akan Sang Diri.
Siwaratri merupakan perenungan diri sehingga dapat meminimalkan perbuatan dosa
dalam kehidupan sehari-hari. Adalah tanpa makna jika merayakan Siwaratri justru
yang diperoleh hanya kantuk dan lapar yang sangat menyiksa.
Setiap akhir dari kegiatan- kegiatan tersebut
dilaksanakan suatu persembahyangan. Seluruh kegiatan yang dilaksanakan ini
adalah untuk mengadakan latihan dan peningkatan rohani. Dengan demikian
diharapkan seluruh umat yang melaksanakan kegiatan ini dapat mengisi dengan
acara- acara kerohanian misalnya membaca kitab suci Weda, mendalami ajaran
agama, mengadakan malam sastra, dan lain-lain.
2.3
Tata Cara Melaksanakan Upacara Siwarâtri.
Adapun Tata cara melaksanakan Upacara Siwarâtri antara
lain :
1. Untuk Sang Sadhaka sesuai dengan dharmaning kawikon.
2. Untuk Walaka, didahului dengan melaksanakan sucilaksana (mapaheningan) pada
pagi hari panglong ping 14 sasih Kapitu.
Upacara dimulai pada hari menjelang malam dengan
urutan sebagai berikut:
1.Maprayascita
sebagai pembersihan pikiran dan batin.
2.Ngaturang banten pajati di Sanggar Surya disertai persembahyangan ke hadapan
Sang Hyang Surya, mohon kesaksian- Nya.
3. Sembahyang ke hadapan leluhur yang telah sidha dewata mohon bantuan dan
tuntunannya.
4. Ngaturang banten pajati ke hadapan Sang Hyang Siwa. Banten ditempatkan pada
Sanggar Tutuan atau Palinggih Padma atau dapat pula pada Piasan di Pamerajan
atau Sanggah.
Kalau semuanya tidak ada, dapat pula diletakkan pada
suatu tempat di halaman terbuka yang dipandang wajar serta diikuti sembahyang
yang ditujukan kepada:- Sang Hyang Siwa.- Dewa Samodaya.
Setelah sembahyang dilanjutkan dengan nunas tirta
pakuluh. Terakhir adalah masegeh di bawah di hadapan Sanggar Surya.
Rangkaian upacara Siwarâtri, ditutup dengan
melaksanakan dana punia.
5.
Sementara proses itu berlangsung agar tetap mentaati upowasa dan jagra.Upawasa
berlangsung dan pagi hari pada panglong ping 14 sasih Kapitu sampai dengan
besok paginya (24 jam).Setelah itu sampai malam (12 jam) sudah bisa makan nasi
putih berisi garam dan minum air putih.Jagra yang dimulai sejak panglong ping
14 berakhir besok harinya jam 18.00 (36 jam).
6.
Persembahyangan seperti tersebut dalam nomor 4 di atas, dilakukan tiga kali,
yaitu pada hari menjelang malam panglong ping 14 sasih Kapitu, pada tengah
malam dan besoknya menjelang pagi.
2.4 Makna
Perayaan Hari Raya Siwaratri
Siwaratri adalah hari suci untuk melaksanakan pemujaan
ke hadapan Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa dalam perwujudannya sebagai
Sang Hyang Siwa.
Hari Siwaratri mempunyai makna khusus bagi umat
manusia, karena pada hari tersebut Sang Hyang Siwa beryoga. Sehubungan dengan
itu umat Hindu melaksanakan kegiatan yang mengarah pada usaha penyucian diri,
pembuatan pikiran ke hadapan Sang Hyang Siwa, dalam usaha menimbulkan kesadaran
diri (atutur ikang atma ri jatinya).
Hal itu diwujudkan dengan pelaksanaan brata berupa
upawasa, monabrata dan jagra.Siwarâtri juga disebut hari suci pajagran.
Umat manusia dalam perjalanan hidupnya banyak
kekurangan. Karena itu, hari suci Siwa Ratri ini merupakan momen yang tepat
untuk melakukan perenungan atau penyadaran diri. Apa yang telah dilakukan
selama ini.
Dari introspeksi itu diharapkan terjadi peningkatan
diri atau pembenahan-pembenahan untuk mencapai suatu keharmonisan. Siwa Ratri
juga harus dilihat sebagai latihan peningkatan moral, sehingga umat selalu
ingat dengan Tuhan dan rajin berdoa.
Secara umum Siwa Ratri bermakna memberi keseimbangan
jiwa pada diri seseorang. Dengan selalu melatih bidang kerohanian niscaya apa
yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari akan seimbang.
Pemaknaan Siwa Ratri sendiri, menurutnya, juga harus
berlangsung kontinu. Jangan hanya saat Siwa Ratri. Memang betul puncak
perenungan saat Siwa Ratri. Namun, perenungan diri sendiri pun bisa dilakukan
setiap saat.
Siwa Ratri mesti dimanfaatkan untuk perenungan diri.
Mengendalikan perkataan melalui monabrata, diharapkan tidak muncul tindakan
yang merugikan semua pihak. Sebab, melalui perkataan yang kurang terkendali
bisa menyulut emosi. Karena itu, melalui perayaan hari suci Siwa Ratri, umat
dapat mengosongkan pikiran untuk berkonsentrasi (kosong berisi) pada hal-hal
yang berbau kerohanian. Dengan berdoa bersama-sama, memohon hal yang sama,
diharapkan muncul vibrasi kesucian. Getaran itu diharapkan merasuki pribadi
masing-masing, sehingga dapat berpikir jernih, berkata dan berbuat sesuai
dengan ajaran agama.
Dalam perayaan Siwa Ratri mesti dirangkaikan pula
dengan pemberian punia kepada sulinggih. Punia dalam bentuk itu juga termasuk
yadya utama.
Dalam Bhagavadgita III, 42, dinyatakan, orang akan
memiliki alam pikiran jernih, apabila atman atau jiwa yang suci itu selalu
menyinari budhi atau alam kesadaran. Budhi (kesadaran) itu menguasai manah
(pikiran). Manah menguasai indria. Kondisi alam pikiran yang struktural dan
ideal seperti itu amat sulit didapat. Ia harus selalu diupayakan dengan
membangkitkan kepercayaan pada Tuhan sebagai pembasmi kegelapan jiwa. Siwa
Ratri (Ratri juga sering ditulis Latri) adalah malam untuk memusatkan pikiran
pada Sanghyang Siwa guna mendapatkan kesadaran agar terhindar dari pikiran yang
gelap. Karena itu, Siwa Ratri lebih tepat jika disebut ”malam kesadaran” atau ”malam
pejagraan”, bukan ”malam penebusan dosa” sebagaimana sering diartikan oleh
orang yang masih belum mendalami agama.
Memang, orang yang selalu sadar akan hakikat kehidupan
ini, selalu terhindar dari perbuatan dosa. Orang bisa memiliki kesadaran,
karena kekuatan budhinya (yang menjadi salah satu unsur alam pikiran) yang
disebut citta. Melakukan brata Siwa Ratri pada hakikatnya menguatkan unsur
budhi. Dengan memusatkan budhi tersebut pada kekuatan dan kesucian Siwa sebagai
salah satu aspek atau manifestasi Sang Hyang Widhi Wasa, kita melebur kegelapan
yang menghalangi budhi dan menerima sinar suci Tuhan. Jika budhi selalu
mendapat sinar suci Tuhan, maka budhi akan menguatkan pikiran atau manah
sehingga dapat mengendalikan indria atau Tri Guna.
Siwa Ratri pada hakikatnya kegiatan Namasmaranâm pada
Siwa. Namasmaranâm artinya selalu mengingat dan memuja nama Tuhan yang jika
dihubungankan dengan Siwa Ratri adalah nama Siwa. Nama Siwa memiliki kekuatan
untuk melenyapkan segala kegelapan batin. Jika kegelapan itu mendapat sinar
dari Hyang Siwa, maka lahirlah kesadaran budhi yang sangat dibutuhkan setiap
saat dalam hidup ini. Dengan demikian, upacara Siwa Ratri sesungguhnya tidak
harus dilakukan setiap tahun, melainkan bisa dilaksanakan setiap bulan sekali,
yaitu tiap menjelang tilem atau bulan mati. Sedangkan menjelang tilem kepitu
(tilem yang paling gelap) dilangsungkan upacara yang disebut Maha Siwa Ratri.
Untuk dapat mencapai kesadaran, kita bisa menyucikan
diri dengan melakukan sanca. Dalam Lontar Wraspati Tattwa disebutkan, Sanca
ngaranya netya majapa maradina sarira. Sanca itu artinya melakukan japa dan
membersihkan tubuh. Sedang kitab Sarasamuscaya menyebutkan, Dhyana ngaranya
ikang Siwasmarana, artinya, dhyana namanya (bila) selalu mengingat Hyang Siwa.
Di India, setiap menjelang bulan mati (setiap bulan)
umat Hindu menyelenggarakan Siwa Ratri dan tiap tahun merayakan Maha Siwa
Ratri. Keutamaan brata Siwa Ratri banyak diuraikan dalam pustaka berbahasa
Sanskerta, Jawa Kuno dan Bali. Ini suatu pertanda, bah-wa Siwa Ratri dari sejak
dahulu sudah dirayakan baik oleh umat Hindu di India, maupun di Jawa dan Bali.
Dalam kepustakaan Sanskerta, keutamaan brata Siwa Ratri diuraikan dalam kitab -
kitab Purana, misalnya Siwa Purana, Skanda Purana, Garuda Purana dan Padma Purana.
Siwa Purana, pada bagian Jñana Samhita memaparkan keutamaan brata Siwa Ratri
dan tata-cara merayakan malam suci terbut. Di situ ada dimuat tentang dialog
antara seseorang bernama Suta dan para rsi. Dalam percakapan tersebut,
dikisahkanl seseorang yang kejam bernama Rurudruha. Ia menjadi sadar akan
dosa-dosa yang telah diperbuat setelah melakukan brata Siwa Ratri. Berkat
bangkitnya kesadarannya, ia tinggalkan semua perbuatan dosa, lalu dengan mantap
berjalan di jalan dharma.
Di antara berbagai brata, mengunjungi tempat suci,
memberi dana punya yang mahal seperti batu mulia (emas dan permata), melakukan
berbagai jenis upacara Yajña, berbagai jenis tapa dan melakukan berbagai
kegiatan Japa atau mantra untuk memuja keagungan-Nya,semuanya itu tidak ada yang
melebih keutamaan brata Sivaratri.
Sejalan dengan pernyataan di atas, kakawin Sivaratri
Kalpa menyatakan keutamaan Brata Sivaratri seperti diwedarkan oleh Sang Hyang
Siva sebagai berikut:
”Setelah seseorang mampu melaksanakan Brata sebagai
yang telah Aku ajarkan, kalahlah pahala dari semua upacara Yajña, melakukan
tapa dan dana punya demikian pula menyucikan diri ke tempat-tempat suci, pada
awal penjelmaan, walaupun seribu bahkan sejuta kali menikmati Pataka (pahala
dosa dan papa), tetapi dengan pahala Brata Sivaratri ini, semua Pataka itu
lenyap”.
”Walaupun benar-benar sangat jahat, melakukan
perbuatan kotor, menyakiti kebaikan hati orang lain, membunuh pandita (orang
suci) juga membunuh orang yang tidak bersalah, congkak dan tidak hormat kepada
guru, membunuh bayi dalam kandungan, seluruh kepapaan itu akan lenyap dengan
melakukan Brata Sivaratri yang utama, demikianlah keutamaan dan ketinggian
Brata (Sivaratri) yang Aku sabdakan ini” (Sivaratri kalpa, 37, 7-8)*
Sumber Sastra itihasa Dalam Itihasa, Sivaratri
terdapat dalam Mahabharata, yaitu pada Santi Parva, dalam episode ketika Bhisma
sedang berbaring di atas anak-anak panahnya Arjuna, menunggu kematian, sambil
membahas dharma, mengacu kepada perayaan Maha Sivaratri oleh raja Citrabhanu,
raja Jambudvipa dari dinasti Iksvaku. Raja Citrabhanu bersama istrinya
melakukan upavasa pada hari Maha Sivaratri. Rsi Astavakra bertanya:
“Wahai sang raja, mengapa kalian berdua melakukan
upavasa pada hari ini? Sang raja dianugerahi ingatan akan punarbhawa
sebelumnya, lalu ia menjelaskan kepada sang rsi.
“Dalam kehidupanku terdahulu aku adalah seorang
pemburu di Varanasi yang bernama Susvara. Kebiasaanku adalah membunuh dan
menjual burung-burung dan binatang lainnya. Suatu hari aku berburu ke hutan,
aku menangkap seekor kijang, namun hari keburu gelap. Aku tidak bisa pulang,
kijang itu kuikat di sebatang pohon. Lalu aku naik sebatang pohon bilva. Karena
aku lapar dan haus, aku tidak dapat tidur. Aku teringat anak istriku yang
malang di rumah, menungguku pulang dengan rasa lapar dan gelisah. Untuk
melewatkan malam aku memetik daun bilva dan menjatuhkannya ke tanah.” Kisah
selanjutnya mirip dengan kisah Lubdaka di Indonesia.
Siwaratri juga dikaitkan dengan cerita yang kalau
ditafsirkan sembarangan, bisa ditafsirkan Siwaratri sebagai malam penebusan
dosa. Cerita siwaratri dikaitkan dengan cerita Lubdaka. Konon, pada malam
siwaratri, dewa siwa sebagai manifestasi tuhan melakukan yoga. Saat yang
bersamaan, dikisahkan seorang pemburu bernama lubdaka kemalaman di hutan dan
akhirnya menginap. agar tidak dimakan binatang buas, si lubdaka naik ke pohon
dan agar tetap terjaga, sebagai pengusir kantuk, si lubdaka memetik dan
menjatuhkan daun-daun pohon yang dipanjatnya. Dewa siwa konon sangat senang
karena lubdaka terjaga dan ‘menemani’ dewa siwa melakukan yoga. maka ketika
lubdaka meninggal, saat lembaga yudikatif kahyangan, dalam hal ini dewa yama
melakukan pengadilan, datanglah satu batalyon tentara sorga yang dikirim oleh
dewa siwa, dan membawa lubdaka ke sorga. padahal, dewa yama hendak mengirimnya
ke neraka karena profesi pemburu adalah dosa, membunuhi binatang2 tak berdosa
demi kesenangan. sementara, dewa siwa sudah terlanjur ‘sayang’ dengan lubdaka
yang menemaninya suatu malam beryoga, sehingga melakukan intervensi pada
putusan lembaga yudikatif kahyangan pimpinan dewa yama.Sehingga sesungguhnya
Siwaratri bukanlah malam penebusan dosa, tetapi malam penyadaran dosa.
Alasannya antara lain :
1. Siwaratri artinya Siwa
= Tuhan/ Bhatara Siwa; ratri = malam. Atau malamnya Bhatara Siwa/ Tuhan, saat
yang tepat bagi manusia untuk merenungi kehidupan di masa lampau serta sadar/
eling pada dosa-dosa yang terlanjur, baik sengaja atau tidak sengaja telah
terjadi. Kemudian berjanji dan menguatkan tekad untuk tidak mengulangi dosa.
Demikian halnya dengan kisah Lubhdaka di mana setelah siwaratri dia tidak lagi
berbuat dosa.
2. Dosa manusia tidak
dapat dihapus/ dilebur, dan harus dipertanggungjawabkan oleh roh/atman kepada
Bhatara Yamadipati (Tuhan) di saat ‘mantuk ke sunia’. Namun demikian, dosa
dapat diimbangi dengan perbuatan dharma. Ibarat sinar matahari yang tetap
terik, namun bila ada angin segar berhembus atau matahari tertutup mega, maka
sinarnya yang panas tidak terasa.
3. Kesadaran itulah yang
perlu ditumbuhkan di saat melakukan brata siwaratri.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Hari
raya Siwaratri sesungguhnya bukan berarti malam penghapusan dosa, tetapi malam
pejagraan atau malam kesadaran untuk menyadarkan kita pada dosa – dosa yang
telah dilakukan sehingga melalui malam perenungan ini, kita dapat memperbaiki
kesalahan yang pernah dilakukan serta malam untuk memusatkan pikiran
kepada Sanghyang Siwa guna mendapatkan kesadaran agar terhindar dari pikiran
yang gelap dan mengendalikan hawa nafsu dengan jalan melaksanakan Brata
Siwaratri yaitu Upawasa, Monobrata, dan Jagra .
3.2 Saran
Sebagai
umat yang menjalankan hari raya Siwaratri sebaiknya mengisi perayaannya dengan
kegiatan – kegiatan positif seperti menjalankan brata Siwaratri dengan benar,
serta melakukan dana punia pada akhir kegiatan, sehingga perayaan hari raya
Siwaratri terasa lebih bermakna.
DAFTAR PUSTAKA
Ida Bagus Sudirga,
Widya Dharma Agama Hindu, Ganeca Exact.
Drs. I Ketut Wijaya, Pendidikan
Agama Hindu, CV. Sinar Bali.
http://www.google.co.id/#hari+raya+siwaratri#
sekian yang dapat aku sampaikan , mungkin laporan di atas masih banyak kurang-nya. kalau ingin lebih lengkap silahkan mendatangi halaman (link) pada daftar pustaka.